Peta, mata negara, dan cerita Austronesia

Museum Terlibat
5 min readAug 31, 2023

--

Tulisan di bawah ini adalah presentasi saya pada sesi ‘Kurator Talk’ pameran Art The Fact 2.0. Museum Bahari Jakarta, Agustus 2023 yang lalu

Peta dan mata negara

Saya tidak akan banyak kembali mengenai apa dan bagaimana itu Austronesia. Karena sesi-sesi sebelumnya telah banyak membicarakan hal ini. Tapi izinkanlah saya untuk sedikit saja berbicara apa pokok-pokok penting yang rasanya menurut saya amat penting buat saya, buat kita, buat orang-orang Indonesia pada masa kini. Dan semoga itu beresonansi juga dengan saudara-saudara sekalian.

Bagaimana kita memandang sebuah wilayah dan orang-orang seringkali dibentuk oleh peta dan mata negara. Yang saya maksud peta adalah, bagaimana kita cenderung mereduksi keberagaman suku, budaya, alam, dan pergerakannya dalam selembar ikatan visual dua dimensi. Seakan-akan jika kita punya petanya, maka kita tidak akan tersesat dan tahu persis serta mampu menguasai medan. Padahal kita, yang di pulau Jawa tahu persis betapa Jawa yang diimajinasikan sebagai sebuah pulau super padat begitu beragamnya. Kita tahu ada yang beda dari orang Sunda, Jawa, dan Madura. Kita tahu sulitnya menyeragamkan orang Garut, Cianjur, Sukabumi, Ciamis dalam satu bingkai ‘orang Sunda.’

Yang saya maksud dengan mata negara adalah kita cenderung untuk menerima batas-batas yang diinvensi oleh negara sebagai sesuatu yang ‘given.’ Begitu dari ‘sononya.’ Padahal negara adalah invensi abad kedua puluh, kalau dalam konteks Asia utamanya Indonesia. Batas-batas negara baru datang belakangan dan tak mampu untuk membatasi migrasi dan arus pergerakan orang Bajau, orang Dayak, orang Melayu, bahkan orang Jawa yang sudah berlaku bermilenia yang lalu. Beribu tahun yang lalu.

Dan pandangan tertutup semacam ini akhirnya terus membentuk kita. Seringkali kita ribut soal batas. Kalau ada masakan padang di Malaysia kita ribut. Kalau ada cendol di Singapura kita ribut. Karena kita terbiasa dengan mata negara yang menganggap kita berbeda dengan mereka. Kami beda dengan kalian. Perspektif ini akhirnya membentuk pola pandang kita yang inward lebih berorientasi ke dalam ketimbang keluar. Melahirkan nasionalisme yang sempit dan prasangka, rasialisme dalam satu kutub dan melahirkan pula inferioritas di kutub yang lain.

Saya berargumen, pameran ini bisa melunakkan cara-cara kita memandang batas dan identitas diri kita. Bahwa kita adalah hasil sejarah beribu-ribu tahun yang kadang tidak tunduk pada peta dan pada cara negara memandang manusia yang berupa-rupa.

Identitas yang senantiasa dibentuk

Hal kedua yang ingin saya tegaskan adalah betapa identitas dan juga peta berikut batas-batasnya kita senantiasa dibentuk. Di salah satu panil bisa kita jumpai bahwa ras negrito yang sudah ada dan boleh jadi terdiri dari berbagai sub-ras berinteraksi dengan orang-orang ras mongoloid. Lalu pada abad kesatu muncul pengaruh India, selanjutnya pada abad ketiga kira-kira orang China. Pada abad ketujuh datanglah orang Arab dan Persia. Pada abad keenambelas datanglah Eropa, dst. Agak sukar membayangkan originalitas atau identitas yang statis.

Identitas adalah proses yang terus-menerus hingga sulit buat kita menentukan, siapa yang asli dan siapa yang tidak. Tengoklah bahasa kita saat ini. Yang terdiri dari berbagai kata serapan dari Belanda, Inggris, Arab, Persia, China, dan India. Tapi Kita berbagi kata bakau, mata, mati, api, papat, telu, yang boleh jadi berakar pada kata yang sama, kata-kata dari rumpun Austronesia.

Syukurnya kita punya para ilmuwan, peneliti, dll yang sebagian hasil penelitiannya digunakan dalam pameran ini. Dari temuan-temuan mereka kita bisa mendapatkan insight baru. Misalkan berdasarkan temuan material culture, kita boleh saja berargumen, jangan-jangan wilayah Austronesia bisa kita perluas hingga ke Jepang.

Rumah-rumah Austronesia

Maka tersebutlah serumpun alam bernama Austronesia. Rumah yang menaungi begitu beragamnya rupa muka manusia dan budayanya. Yang seolah-olah terpisah tapi kok ya cukup sama dalam bahasa, dalam rumah, dan hewan dan tanamannya. Inilah yang kita gali. Cerita-cerita yang menghubungkan kita dengan tetangga di sebelah pulau nun jauh di sana.

Kita bisa berjumpa cerita rumah Austronesia yang umumnya mengingatkan pada bentuk perahu. Kita bisa menjumpai contohnya di rumah Tongkonan dari Toraja atau rumah Gadang dari Minangkabau. Meski telah menapak di tanah, itu bukan berarti orang-orang ini melupakan asal-usul mereka. Beberapa folklore di nusantara mengingat bahwa mereka datang dari Utara atau laut.

Rumah buat orang-orang Austronesia bukan sekadar atap yang melindungi dari terik dan hujan. Tapi juga tempat bersemayam manusia dan bukan manusia. Yang fisik dan batin. Saya menyebutnya rumah bersama. Rumah koeksistensi. Manusia Austronesia tahu bahwa mereka hidup bersama air dan sungai karena itu dibuatlah jalan untuk air tetap mengalir dengan cara mendirikan rumah-rumah di atas tiang — yang menjadi salah satu ciri rumah Austronesia. Siapa tahu juga tiang-tiang inilah yang melindungi mereka dari gempa. Mereka tahu mereka hidup bersama hewan-hewan buas. Dan karena itu tak ada salah dengan hidup bersama. Rumah-rumah panggung melindungi mereka.

Tapi yang juga penting adalah seringkali rumah dianggap punya roh. Rumah biasanya dianggap memiliki mata, mulut, hidung, kepala, kaki, dll. Para nenek moyang Austronesia juga kerap menyimpan relikwi dan peninggalan dari leluhur mereka di rumah. Beberapa tiang di dalam rumah juga biasanya dikaitkan dengan leluhur yang bersemayamnya. Jadi bisa dibilang rumah bagi bangsa Austronesia adalah tempat tinggal bersama: buat yang hidup maupun yang telah mati.

Beberapa ritual di Austronesia juga bukan berpusat di rumah ibadah. Tapi di rumah. ini sama halnya dengan apa yang kita lakukan sekarang. Kalau punya rumah baru selesai dibangun pasti ada selametan agar rumah tersebut menjadi berkah. Tidak diganggu roh-roh jahat. Dan biasanya dalam selametan itu ada pasti ada doa untuk para leluhur. Inilah tradisi yang terus hidup selama bermilenia.

Cerita-cerita bersama

Arus migrasi manusia juga beriringan dengan penyebaran flora fauna. Misalkan pohon murbei yang dibawa nenek moyang kita di perahu-perahu mereka — sebagai bekal untuk membuat pakaian atau yang lainnya — menyebar hingga pasifik dan dipakai untuk bahan kulit kayu. Mereka juga membawa beberapa bahan pangan yang jika dikaitkan dengan masa kini maka mereka bisa disebut membangun ketahanan pangan. Misalkan ada talas, ubi, ganyong, garut, uwi. Beberapa hewan domestik yang masih bisa kita jumpai hingga sekarang juga menyebar di sepanjang wilayah Austronesia seperti ayam, anjing, babi.

Bekal-bekal inilah yang mereka bawa di perahu-perahu mereka. Bila telah jauh mereka akan membaca tanda-tanda alam untuk menandai daratan. Dan mereka lega bukan main kalau sudah bertemu dengan hutan bakau. Yang menarik kata bakau ini juga nyaris sama di seluruh kebudayaan Austronesia. Bakau adalah tempat untuk ikan-ikan untuk memijah. Menjadi sumber protein buat nelayan dari kepiting dan ikan-ikan yang hidup di dalamnya. Bakau juga menyediakan kayu-kayu yang dibutuhkan untuk perbaikan kapal. Dan bakau inilah yang telah menjaga garis daratan Austronesia selama beribu-ribu tahun. Dari erosi, intrusi, dan tsumani. Tapi jumlah hutan bakau sekarang menyusut drastis. Dan kita boleh jadi akan kehilangan sang penjaga alami ini setelah ribuan tahun lamanya mereka menjaga kita.

Penutup

Inilah cerita-cerita bersama. Cerita-cerita yang kita bagi bersama. Bahwa ada banyak kesamaan dari yang kita duga dari perbedaan. Dan jikalau ada perbedaan, itu pun bukan berarti keburukan semata. Dengan kembali ke belakang, melihat lagi arus sejarah dan cerita bersama ini, kita jadi tahu bagaimana kita bisa jadi sangat berbeda. Dan jadi maklum. Jadi santai menyikapi perbedaan. Tidak terkungkung pola pandang yang ke dalam tadi.

Sebagai penutup mungkin kita bisa kembali menengok warisan bangsa Austronesia yang sangat penting dan menjadi pokok dan argumen dalam pameran ini: Kelana, kembara, diaspora. Bahwa hasrat berpetualang, hasrat keluar inilah yang akhirnya menuntun bangsa itu menjadi sebuah bangsa yang kreatif, cerdik cendikia, gemar pengetahuan dan haus kebijaksanaan. Diaspora itulah yang menuntun kita pada keragaman yang kita alap berkahnya hingga sekarang

--

--

Museum Terlibat
Museum Terlibat

Written by Museum Terlibat

Museum ideas for museum for all. Museum untuk Warga Instagram: @museum.terlibat

No responses yet